72% Penyandang Disabilitas di Indonesia Menjadi Pekerja Informal akibat Diskriminasi

Difabel

Oxomedia, Jakarta – Isu Pemberdayaan Ekonomi Perempuan menjadi isu yang perlu diperhatikan dalam pembuatan Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Perempuan dengan disabilitas menjadi salah satu kelompok yang perlu mendapatkan perhatian khusus mengingat tingkat kerentanannya semakin tinggi. Dalam sektor ekonomi, perempuan disabilitas kerap kali menghadapi diskriminasi dan kesulitan untuk memasuki dunia kerja yang layak. Hanya 51.12% penyandang disabilitas yang masuk dalam pasar tenaga kerja atau bekerja. Keadaan ini semakin mengkhawatirkan dengan fakta bahwa hanya 19% perempuan dengan disabilitas yang mendapat pekerjaan, jauh dibandingkan laki-laki dengan disabilitas yang mencapai 52% (UN Women, 2020). Data ini membuktikan bahwa upaya penyediaan akses ekonomi yang inklusif menjadi kebutuhan mendesak dalam Strategi Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia.

Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025 yang sudah disahkan memiliki empat fokus sasaran, yaitu 1) perempuan, 2) anak, 3) masyarakat, dan 4) orang dengan disabilitas. Dalam dokumen tersebut, isu bisnis dan HAM tidak masuk sebagai sasaran dan tidak secara eksplisit disebutkan, melainkan hanya akan diintegrasikan melalui empat fokus sasaran yang telah ada.

Untuk menghadirkan regulasi bisnis yang berorientasi HAM, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Hukum dan HAM, telah membentuk Gugus Tugas Nasional untuk Bisnis dan HAM, yang terdiri dari 20 K/L dan 7 Lembaga Non Pemerintah. Gugus tugas ini berfungsi untuk memastikan pelaksanaan nilai-nilai Bisnis dan HAM yang sesuai dengan prinsip bisnis dan HAM yang telah disepakati oleh PBB di tingkat nasional. Upaya ini dapat dilihat sebagai salah satu langkah awal yang baik dalam menyediakan instrumen hukum atau peta jalan bagi pengaturan isu bisnis dan HAM yang lebih komprehensif. Salah satu yang sedang dilakukan oleh Gugus Tugas Nasional adalah penyusunan Strategi Nasional Bisnis dan HAM di Indonesia.

Baca Juga :  Nawal Lubis Ajak Semua Pemangku Kepentingan Cegah Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir

“Di Indonesia sendiri, 72% orang dengan disabilitas merupakan pekerja informal. Ini membuat perempuan dengan disabilitas memiliki kerentanan berlipat dan kondisi pandemi semakin menambah jumlah miskin dan rentan baru penyandang disabilitas,” ungkap Hajerati, Direktur Kerja Sama HAM, Kementerian Hukum dan HAM RI dalam Webinar Series on Business and Human Rights “Satu Dekade UNGPs on BHR: Bagaimana keadaan Perempuan Disabilitas di Indonesia saat ini?” yang diselenggarakan oleh INFID pada Rabu, 22 Desember 2021.

Tendy Gunawan, Project Officer International Labour Organisation (ILO) mengungkapkan bahwa data global menunjukkan bahwa 2/3 penyandang disabilitas yang masuk usia bekerja justru tidak bekerja. Perempuan dengan disabilitas adalah pihak yang paling termarjinalkan dalam sisi akses terhadap pekerjaan. Sejumlah faktor melatarbelakangi kondisi ini, di antaranya beban pekerjaan rumah tangga tidak berbayar, perempuan keluar pangsa pasar kerja setelah menikah, stigma dalam pekerjaan yang dapat atau tidak dapat dilakukan perempuan, hingga kesenjangan upah. Perempuan dengan disabilitas hambatannya lebih besar lagi dikarenakan stigma dan diskriminasi dalam akses pekerjaan dikarenakan disabilitas.

Yeni Rosa Damayanti, Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat menambahkan contoh-contoh diskriminasi yang kerap dialami penyandang disabilitas dalam dunia bisnis. “Surat Keterangan Sehat Rohani menjadi penghambat orang dengan disabilitas mental untuk bisa masuk dalam pasar tenaga kerja. Belum lagi stigma (negatif) yang sering dialamatkan kepada penyandang disabilitas dalam sektor bisnis. Hal ini menghambat kemampuan mereka untuk berkembang seperti orang tanpa disabilitas. Beberapa hal tersebut tentu menambah kerentanan yang dihadapi oleh perempuan dengan disabilitas,” sesal Yeni.

Hak penyandang disabilitas sudah tertuang dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang Undang ini juga mengatur kewajiban pemerintah pusat dan daerah untuk mengedepankan pengadaan barang dan jasa untuk unit usaha penyandang disabilitas, serta mendorong adanya pendanaan, pelatihan, dan pemasaran produk-produk hasil karya penyandang disabilitas.

Baca Juga :  Menlu Retno: Perempuan Bisa jadi Agen Perdamaian Dunia!

Sejumlah gerakan pemberdayaan penyandang disabilitas juga mulai bermunculan di tengah masyarakat. Lembaga seperti Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) menyediakan program pelatihan dan pendampingan kewirausahaan bagi penyandang disabilitas. Social entrepreneurship seperti Difanesia juga hadir dalam ruang digital Indonesia untuk membantu memasarkan produk-produk hasil karya atau usaha penyandang disabilitas.

Pandemi COVID19 semakin memperbesar jurang kerentanan perempuan dan penyandang disabilitas. Penguatan infrastruktur regulasi bisnis dan HAM menjadi kebutuhan mendesak untuk mempercepat proses pemulihan pandemi. Oleh karena itu, Strategi Nasional Bisnis dan HAM diharapkan mampu menghadirkan program dan regulasi yang dapat melindungi hak penyandang disabilitas. Pemerintah berperan dalam mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk memberikan contoh baik kepada sektor swasta dalam memberikan kesempatan ketenagakerjaan dan pemberdayaan ekonomi yang setara terhadap perempuan penyandang disabilitas. (BOB/REL)