Oxomedia, Jakarta, – Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi (KPI) menyelenggarakan diskusi bertajuk “Strategi Mengawal Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual” di platform Zoom secara kolaboratif bersama Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) dan INFID.
Dalam sambutan pembukaannya, Mike Verawati, Sekjen KPI mengemukakan bahwa keberhasilan memperjuangkan UU TPKS selama sepuluh tahun tidak lepas dari peran berbagai pihak, seperti teman-teman disabilitas, penyintas, aktivis, akademisi, pemerintah dan parlemen. Pasca disahkannya UU TPKS, masih ada pekerjaan rumah bersama, khususnya mengenai agenda menurunkan kebijakan turunan 5 perpres dan 5 PP sebagai langkah memperkuat implementasi UU TPKS.
Diskusi ini bertujuan untuk merefleksikan strategi dan penguatan jaringan dalam melakukan implementasi UU TPKS beserta pengawasan dan partisipasi masyarakat. Diskusi yang dimoderatori oleh Wiwik Afifah ini dihadiri oleh Ali Khasan, Asisten Deputi Pemenuhan Hak Perempuan Kementrian PPPA; Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan; dan Prof. Sulistyowati Irianto, Guru Besar FH UI.
Sebagai instrumen hukum yang baru disahkan, UU TPKS membutuhkan langkah dan tindakan lanjutan. Ada tiga hal penting mengenai strategi yang dibahas dalam forum ini.
Lapis pertama adalah mengenai implementasi di tataran kebijakan dan koordinasi lintas kelembagaan. Ali Khasan memaparkan bahwa kasus kekerasan seksual adalah praktik yang bersifat cross-cut dan berlapis. Oleh karena itu, ada beberapa pekerjaan penting bersama, yaitu; mengurangi kesenjangan antara kasus yang sebenarnya terjadi dan kasus yang terlaporkan; kedua, melakukan reformasi manajerial dalam penanganan kasus; ketiga, membentuk dan mengonsolidasikan jaringan atau elemen kemasyarakatan dan institusional dalam mencegah kekerasan seksual.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah, menurut Ali Khasan, wajib menyelenggarakan pencegahan TPKS secara cepat dan terpadu. Pendekatan daerah misalnya, menekankan peran institusi pendidikan dalam menyajikan edukasi. Penanganan kasus juga penting untuk mempertimbangkan konteks kasus. Ali Khasan juga menuturkan bahwa pemerintah daerah wajib untuk membentuk UPTD PPA sebagai bentuk keseriusan dalam menjamin keamanan masyarakat dari kekerasan seksual.
Hal itu, salah satunya, telah diinisiasi oleh Kemen PPPA dengan membuka Call center SAPA (Sahabat Perempuan dan Anak) melalui 129. Kemen PPPA juga telah bekerjasama dengan Kemendagri untuk berkordinasi dengan daerah, dan membentuk UPTD PPA di daerah dengan optimalisasi jaringan pentahelix antara pemerintah, bisnis, media, akademisi dan masyarakat.
Lapis kedua dikemukakan oleh Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan, tentang beberapa hal mengenai kepastian administratif UU TPKS, beserta beberapa substansi UU TPKS yang penting untuk dioptimalkan.
Dalam pandangan Siti Aminah Tardi, hal terpenting pasca disetujuinya RUU TPKS adalah memastikan bahwa UU TPKS diundangkan. Selain itu, memastikan penguatan UU TPKS juga tersedia pada RKUHP, sehingga penting bagi kita semua untuk menyusun langkah-langkah advokasi memastikan beberapa kelemahan yang dalam UU TPKS dapat dipastikan diatur secara kuat dengan memperhatikan beberapa kebijakan yang mengatur unsur-unsur kekerasan seksual.
Persoalan administratif dan substantif juga perlu diimbangi dengan kerja pengawasan. Dalam persoalan ini, Komnas Perempuan berperan dalam memastikan tujuan pemberantasan tindak pidana kekerasan seksual yang dimandatkan dalam undang-undang dijalankan oleh negara, dan memastikan bahwa pemerintah sebagai pelaksana UU TPKS tidak terbebani oleh fungsi pemantauan dan pengawasan.
Sejalan dengan masalah tersebut, Prof. Sulistyowati Irianto mengungkap bahwa core crime dari UU TPKS Pasal 4 (2), yakni pemerkosaan, perbuatan cabul, persetubuhan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak, eksploitasi seksual terhadap anak, perbuatan kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban, semuanya hanya disebut sebagai ‘kekerasan seksual’, tidak diatur dan didefinisikan secara terang.
Implikasinya, substansi yang seharusnya masuk dalam UU TPKS justru berada pada undang-undang di luar TPKS. Hal ini beresiko membuka bentuk manajerial dan implementasi yang tidak begitu akurat dengan nafas UU TPKS.
Paparan para narasumber dalam diskusi ini menyiratkan bahwa langkah strategis lanjutan pasca disahkannya UU TPKS dapat dimulai dengan langkah-langkah pertama; memetakaan dan memperdalam substansi dari core-crime di dalam UU TPKS. Kedua, meninjau ulang relasi pemenuhan core-crime tersebut dengan UU lain. Ketiga, mengonsolidasikan jejaring kebijakan, pemerintah dan masyarakat dalam menjamin ruang aman. Keempat, membentuk piranti institusional bagi perlindungan korban, seperti UPTD PPA misalnya, di daerah-daerah. Kelima, mengawasi proses implementasi UU TPKS bersama-sama. (BOB/REL)