Workshop Bahas Pengungsi di Medan
Medan, Oxomedia, – International Organisation for Migration (IOM) atau Organisasi Internasional untuk Migrasi mengaku pernah mendapat penolakan dari warga Medan ketika hendak merelokasi pengungsi Rohingya dari Aceh ke Medan.
Hal tersebut diungkapkan Catline, pengurus IOM Medan, saat menjadi narasumber workshop yang membahas isu migran dan pengungsi di Hotel Antares, Medan, Rabu (17/5/23).
“Ini kejadiannya sekitar 15 tahun lalu. Pengungsi Rohingya ada 100-an orang saat itu. Waktu itu kami sudah siapkan pengungsian di salah satu tempat di Medan. Begitu rombongan pengungsi tiba dan hendak masuk ke pengungsian, tiba-tiba warga protes,”ungkapnya.
Warga protes karena tak ingin ada pengungsi asing masuk ke daerahnya. Karena saat itu darurat, kami harus mencari akomodasi di tempat lain untuk menampung 100-an pengungsi itu,” sambungnya.
Di samping itu, dalam penutupnya, Catline menyampaikan harapan. Dituturkannya semoga workshop ini bermanfaat untuk para peserta (jurnalis).
“Untuk menangani pengungsi tidak bisa satu orang, tidak bisa IOM saja. Itu artinya harus bekerja sama dengan yang lain, termasuk para jurnalis,” tandasnya.
1.500 Pengungsi Terkonsentrasi di Kota Medan
Tercatat sebanyak 1.500 orang pengungsi dari berbagai negara terkumpul di Medan. Mereka berasal dari Myanmar (Rohingya), Afghanistan, Bangladesh, Suriah, beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika, hingga Vietnam. Tetapi terbanyak dari Afghanistan dan Myanmar.
Mereka menjadi pengungsi cenderung karena negaranya sedang ada konflik, seperti ekonomi, perperangan, hingga politik. Begitupun, para pengungsi diakomodir dan diberi hak oleh pemerintah Indonesia. Namun tidak sama haknya dengan warga negara Indonesia, karena berstatus sebagai pengungsi.
Sebagaimana dikatakan Lisandi Dawalo, Program Asistant International Organization Migran (IOM) yang juga nara sumber workshop.
“Jadi IOM memberikan kebutuhan dasar (pengungsi) selama mereka berada di negara transit (seperti Indonesia), sampai mereka dipindahkan ke negara ketiga,”ucapnya.
Kebutuhan dasar yang diberikan meliputi pendidikan, tetapi ketika tamat tidak memperoleh ijazah, karena status warga negara bukan Indonesia. IOM juga memberikan uang makan, walaupun nominalnya terbilang sangat kecil.
“Tentunya sebagai negara yang berdaulat, Indonesia memiliki aturan, baik itu dari Undang-Undang (UU), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda), maupun yang lainnya. Maka oleh sebab itu, para pengungsi di sini juga harus mengikuti aturan yang ada,”tambahnya.
Berita Terkait : Lusinan pengungsi Rohingya dipindahkan dari Aceh ke Medan
Salah satu aturan mengikat para pengungsi, mereka tidak boleh beraktivitas di luar pengungsian di atas pukul 20.00 WIB. Secara umum, para pengungsi di bawah wewenang Direktorat Jenderal Imigrasi, akan tetapi IOM ikut mendampingi di sana.
“Jadi, pengungsi ini sebenarnya memasuki negara tanpa dokumen lengkap, berarti mereka ini di bawah imigrasi. Jadi, selama ini IOM berada di belakang imigrasi untuk membantu melakukan pengawasan,”katanya.
Namun jika pengungsi melakukan pelanggaran pidana atau melanggar hukum di Indonesia, mereka diproses kepolisian bukan Imigrasi atau IOM.
IOM Bukan NGO, Melainkan IGO
IOM mengklaim kerap kali disebut sebagai Non-Governmental Organization (NGO). Hal tersebut dibantah Catline, pengurus IOM Medan saat workshop bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan. Karena menurutnya IOM adalah Inter Governmental Organization (IGO).
NGO sendiri merupakan organisasi nirlaba yang memiliki kepentingan sosial dan lingkungan. Sedangkan, IGO adalah organisasi antarpemerintah atau organisasi yang terdiri dari negara berdaulat (disebut negara anggota).
“IOM sering kali disebut NGO, padahal tidak. Setiap kali ketemu orang, mereka selalu bilang ‘IOM NGO, ya?’ begitu terus diulang-ulang. Kami bukan NGO, melainkan IGO,” tegasnya.
Dijelaskannya dalam pemaparan pembahasannya kalau IOM sendiri organisasi yang langsung dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“IOM ini ialah organisasi yang berada di bawah naungan PBB yang terdaftar dan berada di 176 negara dunia,” jelas Catline kepada peserta Workshop. (Rel/Bob).